“Mahkamah Konstitusi telah memutuskan sistem pemilu, yaitu Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Keputusan itu sudah final dan mengikat sehingga tidak usah dibicarakan lagi. Kita hormati dan kita laksanakan saja putusan MK tersebut sehingga stabilitas tetap terjaga dan persiapan Pemilu dan Pilpres serta Pilkada 2024 bisa berjalan lancar,” kata Jimly Asshiddiqie dalam diskusi Empat Pilar MPR di Media Center MPR/DPR/DPD, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/6/2023). Diskusi dengan tema “Putusan MK Dengan Sistem Pemilu Terbuka Memperkuat NKRI” juga menghadirkan narasumber anggota MPR Fraksi PKB, H. Syaiful Huda dan praktisi media Jhon Oktaveri.
Menurut Jimly, munculnya ide sistem pemilu proporsional tertutup bukan tanpa sebab. “Pasti ada alasan-alasan logisnya. Kita juga perlu mendengar alasan sistem pemilu tertutup ini. Karena itu, ke depan perlu juga dipikirkan apakah sistem proporsional terbuka ini sudah ideal atau masih banyak kelemahannya. Mana yang lebih banyak, manfaatnya atau mudharatnya,” ujarnya.
Jimly menambahkan sistem proporsional terbuka tidak membantu pelembagaan partai politik, di antara caleg satu partai bisa bermusuhan. Sebaliknya sistem proporsional tertutup jangan dianggap tidak bermanfaat. Sebab, dengan proporsional tertutup maka terjadi pelembagaan dan penguatan kepartaian lebih efektif. Selain itu, dengan sistem proporsional tertutup bisa mencegah demoralisasi politik.
“Pemilu bukan soal menang atau kalah. Kualitas dan integritas demokrasi kita juga ditentukan oleh moralitas dalam politik, moralitas kepemimpinan. Jangan semua pemimpin yang kita pilih ini transaksional. Ini berbahaya,” imbuh Senator dari DKI Jakarta ini.
Namun, lanjut Jimly, sistem proporsional tertutup juga harus ada syaratnya. “Kalau partai masih tertutup seperti sekarang dan demokrasi di internal partai belum tumbuh, maka proporsional tertutup bisa berbahaya karena hanya satu orang yang menentukan, yaitu Ketua Umum Partai, yang regenerasinya turun temurun menjadi dinasti politik,” jelasnya.
“Sembilan partai (di parlemen) saat ini hanya ada sembilan orang Ketua Umum. Dia yang menentukan capres, cawapres, termasuk nomor urut Caleg. Artinya tidak ada demokrasi di internal partai. Partai tertutup sama sekali,” sambungnya.
Jimly melanjutkan, syarat untuk penerapan sistem proporsional tertutup antara lain ada proses demokrasi di internal partai, adanya keterbukaan partai, modernisasi partai sudah berjalan. “Ke depan, menurut saya, memang lebih tepat menggunakan sistem proporsional tertutup. Tetapi dengan syarat-syarat tadi,” katanya.
Sementara itu, anggota MPR dari Fraksi PKB, Syaiful Huda mengatakan pemilu dengan sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup masing-masing memiliki plus dan minusnya. “PKB siap dengan sistem manapun. Ketika MK memutuskan sistem proporsional terbuka, kita menangkap semangatnya adalah jangan sampai terjadi politik transaksional yang lebih parah lagi ke depan. Sistem proporsional terbuka atau tertutup punya potensi (politik transaksional) yang sama. Tapi prinsipnya kita ingin mengakhiri secepatnya politik transaksional ini,” katanya.
Syaiful Huda menambahkan tantangan sistem proporsional terbuka lebih berat. Selain harus memperkuat peran partai, partai juga harus mampu menyeleksi banyak figur (caleg). “Kita harus jujur, dengan sistem proporsional terbuka, caleg harus berkompetisi dalam dua level sekaligus, yaitu level di internal partai dan level di luar partai. Di dalam internal partai terjadi kompetisi antar caleg untuk mendapatkan suara terbanyak. Pada saat yang sama, caleg harus berkompetisi dengan caleg eksternal dari partai politik lain. Ini tentu tidak mudah,” terangnya.
Sementara narasumber lain, praktisi media Jhon Oktaveri menyoroti soal konsistensi dan identitas partai. Indonesia pernah menggunakan sistem proporsional tertutup, juga pernah dengan sistem proporsional terbuka. Indonesia pernah mengalami demokrasi terpimpin, pernah juga memiliki perdana menteri. “Inilah persoalan konsistensi. Kita selalu berubah-ubah dan akhirnya bingung sendiri dengan perubahan itu,” katanya.
Selain itu, sambung Jhon Oktaveri, identitas partai politik di Indonesia lemah karena ketidak-konsistenan tadi menyebabkan partai politik tidak pernah membumi. “Banyak partai baru tetapi tidak memiliki ideologi dan program yang kuat selain pro rakyat. Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi menunjukkan partai politik tidak memiliki ideologi. Karena tidak memiliki ideologi akhirnya terjadi money politik, one man, one vote, dan one amplop,” ucapnya.
sumber : www.mpr.go.id
Posting Komentar