PojokPolitik.online - PEMILU 2024 sudah di depan mata. Kurang dari tujuh bulan lagi, lebih dari 200 juta pemilih akan menentukan pilihan mereka pada lima kotak surat suara.
Dalam pemilu kali ini Presiden Joko Widodo tidak dapat lagi mencalonkan diri karena sudah dua periode menjabat. Walaupun ia tidak ikut sebagai kontestan, posisi politik presiden dianggap penting.
Pemilu berlangsung dalam situasi dengan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan yang tinggi, dan anggaran perlindungan sosial yang mencapai Rp476 triliun pada 2023. Pemilu juga dilaksanakan dalam situasi akses publik terhadap internet semakin meningkat yang diperkirakan sudah mencapai 70% pada tingkat populasi.
Selain itu, digital gap di tingkat populasi (desa vs kota; Jawa vs luar Jawa) juga semakin mengecil. Sementara itu, tingkat kompetisi di antara capres masih ketat. Hal tersebut dapat mendorong peredaran gangguan informasi seperti misinformasi, disinformasi, dan malinformasi menjadi meningkat. Penyebaran gangguan informasi yang menyasar kandidat dan penyelenggara pemilu sudah mulai terbaca meskipun belum terlihat pola yang jelas.
Isu yang digunakan untuk menyerang kandidat dan penyelenggara pemilu juga terlihat masih acak. Hasil penelusuran penulis pada situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Turnbackhoax.id (2023) menunjukkan para capres sudah mendapatkan serangan gangguan informasi.
Tulisan ini melihat bagaimana peta dan pola penyebaran misinformasi dan apa yang bisa dilakukan bersama untuk membendung laju gangguan informasi.
Pola penyebaran Dalam pengalaman pemilu sebelumnya, penyebaran gangguan informasi dilakukan secara terstruktur baik yang melibatkan buzzer yang partisan dan cyber armies yang disewa secara profesional (Jalli & Idris, 2019; Tapsell, 2019).
Tidak jarang, kandidat atau partai menyewa jasa kelompok profesional yang berbiaya mahal untuk menyebarkan gangguan informasi. Bahkan, sejumlah studi menunjukkan kandidat dan partai diduga bertanggung jawab dan menjadi produsen penyebaran gangguan informasi. Dalam situasi pilpres yang kompetitif, tampak ketatnya suara di antara calon presiden pada kisaran 3% sampai 10% dapat membuat kandidat, tim sukses, relawan, dan buzzer bisa tergoda untuk menyebarkan gangguan informasi. Meskipun dari sisi pemilih sudah terbentuk soliditas pilihan, potensi perubahan suara masih mungkin terjadi terutama pada pemilih muda, pekerja swasta, berpendapatan menengah, dan tinggal di perkotaan.
Studi lainnya menemukan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kepercayaan orang pada misinformasi, di antaranya bias partisan memengaruhi ketidakmampuan publik dalam mengidentifikasi adanya misinformasi (Badrinathan, 2020). Dalam kasus Indonesia, misinformasi justru dapat lebih mudah menyebar pada kelompok muda, berpendidikan, berpendapat menengah, dan tinggal di daerah urban (Mujani & Kuipper, 2020).
Efek Dalam kasus Pemilu 2019, gangguan informasi yang menyebar terkait dengan dugaan kecurangan pemilu memicu kerusuhan massa di Jakarta dan beberapa tempat. Temuan Temby (2019) menunjukkan plot yang diskenario para elite tersebut memicu kerusuhan di depan Kantor Bawaslu pada 21-23 Mei 2019 yang menewaskan delapan orang dan ratusan luka-luka. Penyebaran gangguan informasi dalam Pemilu 2019 juga membuat sebagian orang tidak memercayai hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena menganggap pemilu curang. Padahal, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Sebagai catatan, KPU menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendapatkan suara 55,5% dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebesar 44,50%. Selisih suara di antara keduanya mencapai lebih dari 16 juta pemilih. Di Amerika Serikat, penyebaran misinformasi yang dinarasikan Trump bahwa 'hasil pemilu telah dicuri' memicu terjadinya penyerangan US Capitol pada 6 Januari 2021 (Ipsos.com). Bahkan temuan survei IPSOS (2021) menunjukkan, meskipun Biden sudah memenangi pemilu, masih terdapat 23% responden yang meyakini bahwa Trump-lah yang sesungguhnya memenangi pemilu. Parahnya lagi, sekitar 31% pemilih Partai Republik, yang menjadi basis politik Trump, memercayai bahwa telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Dalam Pemilu 2020 tersebut, Joe Biden menang dengan suara 51,3% dan Trump mendapatkan suara 46,8%.
Upaya mitigasi Penetrasi internet yang tinggi menjadi tantangan dalam upaya mitigasi dan prevensi penyebaran gangguan informasi. Penanggulangan gangguan informasi dalam pemilu harus menjadi tugas bersama penyelenggara, peserta pemilu (kandidat dan partai), pemerintah, simpatisan kandidat/partai, perusahaan platform teknologi, masyarakat, dan perusahaan media. Dalam Pemilu 2024, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) harus secara aktif dan cepat menyiapkan rencana mitigasi untuk membendung penyebaran misinformasi.
Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa hal, di antaranya berikut ini.
Pertama, memastikan adanya transparansi dan independensi dalam setiap proses dan tahapan pemilu. Mulai pendaftaran partai politik, pemutakhiran data pemilih, penetapan daftar caleg tetap (DCT), pemilihan penyelenggara pemilu pada tingkat daerah, pemungutan suara, hingga penetapan hasil pemilu. Bila KPU tidak bisa memastikan transparansi dan independensi, hal tersebut akan memengaruhi tingkat kepercayaan publik pada hasil pemilu dan kepercayaan kepada KPU. Apalagi, berdasarkan sejumlah survei, tingkat kepercayaan publik pada KPU saat ini berada di bawah rata-rata nasional.
Kedua, memastikan sistem informasi dan teknologi KPU tangguh dan dapat menangkal serangan siber. Dalam dua pemilu sebelumnya, sistem informasi KPU dikabarkan lumpuh dan tidak berdaya menghadapi serangan siber. Padahal, dengan menayangkan informasi secara real time, potensi kecurangan dapat diatasi. Penting juga bagi KPU untuk memberikan akses bagi publik untuk dapat mengetahui hasil penghitungan suara secara real time, tak lama setelah proses penghitungan suara di TPS selesai dilakukan. Misalnya, dengan membuat regulasi yang mewajibkan petugas KPPS mengunggah data penghitungan suara ke pusat data KPU sehingga publik dapat melihat secara real time. Hal itu, selain untuk mengurangi potensi kecurangan, bertujuan menangkal misinformasi terkait dengan penghitungan suara.
Ketiga, penting bagi KPU untuk memiliki early warning system yang dapat mengukur dan memantau potensi-potensi penyebaran misinformasi, serta dapat mencegahnya sebelum misinformasi tersebut beredar. Selain itu, perlu adanya sistem internal yang secara aktif mengklarifikasi gangguan informasi yang sudah beredar, seperti yang dilakukan Kementerian Kesehatan saat pandemi covid-19 lalu. Dalam penanganan pandemi covid-19, kredibilitas informasi dan aksi aktif pemerintahan dan pemangku kepentingan berhasil meningkatkan keinginan masyarakat untuk divaksinasi dan menerapkan protokol kesehatan. Padahal, sebelumnya, lebih dari setengah populasi tidak percaya pada covid-19.
Keempat, dari sisi Bawaslu perlu secara aktif memantau dan mengawasi aktivitas kampanye terutama pada isu-isu yang berpotensi menjadi informasi yang salah atau keliru. Bawaslu perlu menyiapkan rencana strategis untuk memantau penyebaran misinformasi di media sosial dan bekerja sama dengan perusahaan penyedia platform teknologi. Dari sisi penyedia platform dan lembaga penelitian, sebenarnya saat ini sudah ada inisiatif dalam memitigasi risiko penyebaran gangguan informasi seperti inisiatif pembentukan Safer Internet Lab (Sail) sebagai wadah bersama untuk meneliti, mendeteksi, dan menyiapkan aksi dalam membendung penyebaran gangguan informasi.
Penyebaran gangguan informasi saat ini dan ke depan akan menjadi ancaman tidak hanya bagi penyelenggaraan pemilu, tetapi juga memengaruhi kepercayaan publik pada pemerintahan dan lembaga negara, dukungan terhadap demokrasi, dan kohesivitas nasional.
Sumber: https://mediaindonesia.com
Posting Komentar