Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Pemohon yang hadir secara daring menyampaikan hak konstitusional Pemohon yang telah dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana di atas telah dilanggar dengan adanya ketentuan pelarangan menjadi pengurus partai politik pada Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, dan Pasal 64 huruf h UU Desa.
Menurutnya, Pemohon memiliki hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selain itu, sambung Mahmudi, pemohon juga memiliki hak untuk mendapat pendidikan politik dari partai politik sebagaimana fungsi Partai Politik, tidak pernah Pemohon dapatkan dikarenakan ketentuan Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g dan Pasal 64 huruf h UU Desa. Kemudian, hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Mahmudi menegaskan, Pemohon diperlakukan tidak adil, diskriminatif, dan tidak diberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan oleh ketentuan Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, Pasal 64 huruf h UU Desa karena setingkat jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPRD, Kepala Daerah tidak dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik. Sedangkan, pejabat di tingkat desa dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik.
Sehingga, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, Pasal 64 huruf h UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta Pemohon untuk memperbaiki struktur permohonan dimulai dari perihal dengan melengkapi pasal-pasal yang diujikan. “Kemudian karena saudara baru pertama kali tolong dibaca Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 itu nanti anda bisa memahami sistematika permohona. Bisa juga dibaca nanti refrensinya berbagai macam permohonan atau putusan yang sudah ada di MK. Itu tolong anda pelajari itu terkait dengan sistematika dari kewenangan MK sudah ada sebetulnya kedudukan hukum kemudian alasan permohonan atau posita dan petitum. Itu empat pokok, hanya isinya yang kemudian menjadi persoalan disini. Kewenangan MK nanti diperbaiki walaupun itu sudah ada singkatannya di sini dari UUD kemudian UU kekuasaan kehakiman, UU MK ditambah lagi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, semuanya nanti dilihat baru dari undang-undang itu,” terang Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon untuk menegaskan kembali bahwa UU itu yang dilarang itu menjadi pengurus tetapi tidak larang jadi anggota partai politik. “Jadi, sebetulnya sudah ada peluang, kesempatan untuk berpartisipasi dan terlibat. Sekali lagi bedakan pengurus dan anggota. Jangan langsung ditarik kesimpulan. Di posita harus betul-betul kuat,” ujar Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon untuk mencari letak pertentangan antara undang-undang atau pasal yang diujikan dengan pasal-pasal konstitusi. “Untuk memperkuat itu argumentasi dan narasinya perlu mengutip beberapa teori hukum yang dapat digunakan. Kemudian pendapat ahli yang anda peroleh, data atau dokumen. Begitu juga dengan studi perbandingan yang dapat dicari dan dijadikan dasar untuk memperkuat alasan permohonan. Kemudian pemohon juga diminta memperbaiki petitumnya,” tegas Arief.
Sebelum menutup persidangan Arief mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Pemohon diberi waktu paling lambat menyerahkan perbaikannya pada Rabu 9 Agustus 2023 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Posting Komentar